Semua hadits terdahulu mengandung anjuran untuk berobat dan anjuran untuk melakukan bekam. Namun semua itu dilakukan pada saat dibutuhkan saja. Orang yang sedang berihram juga boleh melakukan bekam. Kalau pembekaman itu mengharuskan sebagian rambut dicukur, juga tidak apa-apa. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa bila sampai mencukur sebagian rambut harus membayar fidyah, itu perlu ditinjau kembali. Tidak tepat bila dikatakan wajib membayar fidyah bila orang berpuasa melakukan bekam. Karena, dalam Shahih AI-Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ juga pernah melakukan bekam pada saat puasag (83). Namun, apakah dengan demikian puasanya batal atau tidak? ltu masalah lain. Yang benar, bahwa puasanya tetap batal karena bekam. Di situ ada riwayat shahih dari Rasulullah ﷺ, dan tidak ada dalil yang membantahnya. Dan, hadits paling shahih yang membantahnya adalah hadits hijamah beliau ketika beliau sedang berpuasa.
Namun, itu tidak menunjukkan bahwa puasa beliau tidak batal, kecuali bila memenuhi empat hal: Pertama, bahwa puasa yang beliau lakukan adalah puasa wajib. Kedua, beliau dalam keadaan mukim. Ketiga, saat beliau tidak dalam keadaan sakit yang membutuhkan bekam. Keempat, bahwa riwayat ini terjadi setelah riwayat, “Orang yang membekam dan dibekam samavsama batal puasanya. "(84) Kalau keempat hal ini terpenuhi, perbuatan Rasulullah itu bisa dijadikan dalil bahwa puasa itu tidak batal karena bekam. Kalau tidak terpenuhi, bisa saja puasa yang beliau lakukan adalah puasa sunnah sehingga bisa dibatalkan karena bekam dan sejenisnya. Atau bisa juga puasa Ramadhan, tetapi saat bepergian. Atau bisa juga pada bulan Ramadhan saat beliau mukim, tetapi beliau melakukan bekam itu dalam keadaan terpaksa, seperti sakit yang mengharuskan beliau berbuka. Atau bisa juga dilakukan di bulan Ramadhan dan tanpa kebutuhan mendesak, namun hukum bekam di sini dijadikan sebagai hukum asal.
Lalu, sabda Nabi , “Orang yang membekam dan orang yang dibekam sama-sama batal puasanya,” adalah hukum yang datang belakangan. Sehingga akhirnya itulah yang dijadikan standar hukumnya. Namun, sayang keempat hal tersebut tidak terjadi satu pun, apalagi keempat-empatnya!
Hadits tersebut juga mengandung konsekuensi dibolehkannya membayar upah seorang dokter dan tenaga medis lainnya tanpa terlebih dahulu melakukan transaksi pengupahan. Bisa diberikan upah selayaknya sesuai dengan kapasitasnya atau dengan harga yang disepakatinya.
Hadits ini juga mengandung hukum dibolehkannya bekerja dengan profesi sebagai tukang bekam. Meskipun orang yang merdeka tidak layak mengambil upah dari pekerjaan itu, tetapi hukumnya tidak haram. Karena, Nabi ﷺ memberikan upah kepada tukang bekam, dan tidak melarang tukang bekam itu untuk mengambil upah tersebut. Kalau dikatakan bahwa upah itu adalah “uang kotor", tak ubahnya dengan sabda beliau yang menyatakan bawang merah dan bawang putih sebagai barang kotor, namun keduanya tidak menjadi haram karena sabda tersebut.
Hadits itu juga menunjukkan bahwa seorang tuan boleh mengambil bayaran dari budaknya atas sesuatu yang ditentukan setiap hari sesuai dengan kemampuannya. Dan, budak tersebut berhak menggunakan kelebihan dari yang ia bayarkan itu. Seandainya ia dilarang menggunakannya, berarti seluruh penghasilannya menjadi milik tuannya, sehingga penentuan itu tidak ada gunanya. Padahal, apa yang melebihi upahnya secara otomatis menjadi miliknya yang dapat ia gunakan sekehendak hatinya. Wallahu a'lam
__________
(83) HR Al-Bukhari no. 455 dalam Ash-Shiyam, Bab al Hijamah wal Qay li as sha 'im, dari hadits Abdullah bin Abbas رضي الله عنه
(84)Diriwayatkan dari hadits Syaddad bin Aus oleh Asy-Syafi'i (1/257), Abu Dawud no. 2369, Ad-Darimi (2/14), Abdurrazzaq (7520), Ibnu Majah no 1681, AI-Hakim (1/428) Ath-Thahawi (hal. 349), dan Al-Baihaqi (4/265) dan sanadnya hadits ini shahih Hadits inii dishahihkan oleh beberapa imam. Pada bab ini terdapat hadits dari Rafi' bin Khudaij yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq no. 7523, At-Tirmidzi no. 774. aI-Baihaqi (4/265), dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban no. 902, AI-Hakim (1/428), Ibnu Khuzaimah no 1964. Sedang hadits yang diriwayatkan dari Tsauban diriwayatkan oleh Abu Dawud no, 2367, Ibnu Majah no 1680, Ad-Darimi (2/14-15). Ath-Thahawi hal 349, Ibnu Al-Jarud hal 198, Abdurrazzaq no 7522. hadits ini' dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah no 1962 dan 1963, Ibnu Hibban no 899, Al-Hakim (1/427), AI-Bukhari, Ali bin AI-Madini dari An-Nawawi. Akan tetapi telah shahih dan Nabi ﷺ bahwa hadits ini dimansukh Lihat AI-Fath no 455. Nashbu Ar-Rayah (2/472 dan 173), dan Talkhish Al-Hablir (2/ 191-194)
Sumber :
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim
Zadul Ma'ad Jilid 2 : bekal perjalanan akhirat / Ibnu Qayyim Al-Jauziyah ; tahqiq, Syu'aib Al-Arna'uth, Abdul Qadir Al-Arna'uth ; penerjemah, Amiruddin Djalil ; muraja'ah, tim Griya Ilmu; editor, tim Griya Ilmu. -- Jakarta : Griya Ilmu
Judul Asli : Zadul Ma'ad : fi hadyi khairil 'ibad.
Channel Telegram :
https://t.me/sakinahdengansunnah
Grup Wa Sakinah dengan Sunnah :
https://chat.whatsapp.com/5NN5aztXsr8FfeXp4JCsqC
0 komentar:
Posting Komentar